Latar Belakang
Allah SWT. menciptakan manusia di muka bumi untuk menjadi seorang
khalifah atau pemimpin. Seorang pemimpin haruslah selalu berpedoman kepada
kitabullah Al-Qur’anul kariim dan juga kepada al-hadits. Tentu saja system
kepemimpinannya harus sesuai dengan hukum syari’at Islam.
Di negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku dan
agama menjadikan Indonesia tidak bisa menjadi negara Islam walaupun mayoritas
penduduknya adalah umat Islam. Sehingga system pemerintahan yang dianut pun
bukan hukum syari’at Islam, melainkan berpedoman pada Pancasila.
Untuk beberapa golongan, hal ini dijadikan sebagai alat untuk
menjatuhkan dan membangkang kepada Pemerintahan Indonesia.
Tujuan
Makalah yang disusun bertujuan untuk memenuhi tugas individu mata
kuliah Pendidikan Agama Islam II. Selain itu, makalah ini juga disusun untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang pemahaman agama Islam bagi
penulis maupun pembaca.
Metode Penulisan
Pada penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode studi
pustaka, selain dengan menggunakan buku cetak sebagai referensi, penulis juga
melakukan studi pustaka dengan menggunakan media internet.
Sistematika Penulisan
-
Halaman Judul (cover)
-
Kata Pengantar
-
Daftar Isi
-
Bab I Pendahuluan
o
Latar Belakang
o
Tujuan
o
Metode Penulisan
o
Sistematika Penulisan
-
Bab II Pembahasan
o
Sunnah Rasulullah SAW Dalam
Menghadapi Pemerintah
o
Ahlus Sunnah wal Jamaah
o
Indonesia
Bukan Negara Islam, Layakkah Ditaati?
o
Bolehkah
Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at
Islam?
o
Apabila
pemerintah itu berlaku zalim
o
Hikmah
terus mentaati pemerintah dan tidak menggulingkan kerajaan
o
Syarat Boleh Memerangi
Pemerintah
-
Bab III Penutup
o
Kesimpulan
-
Daftar Pustaka
PEMBAHASAN
Sunnah Rasulullah SAW Dalam Menghadapi Pemerintah
Allah S.W.T berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan
ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Q.S An Nisaa: 59)
Sabda Rasulullah S.A.W:
”Barangsiapa yang mentaatiku maka dia mentaati
Allah dan sesiapa yang menderhakaiku maka dia juga menderhakai Allah dan
barangsiapa yang mentaati pemerintah maka dia mentaati aku dan sesiapa yang
derhaka pada pemerintah maka dia menderhakaiku.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari,
Muslim, an-Nasai, Ibn Majah, dan Ahmad]
Berdasarkan ayat dan hadis di atas ulama’ Ahlus
Sunnah wal Jamaah telah sepakat bahwa mentaati pemerintah muslim itu adalah
wajib.
Ahlus Sunnah wal Jamaah
Dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa umat Islam terpecah menjadi 73
kelompok dan hanya satu kelompok yang dipastikan selamat dan jaya di dunia dan
akhirat. Para ulama kita sepakat bahwa satu
kelompok yang dijamin selamat tersebut adalah kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah.
Namun seiring waktu, hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi semakin pudar dan
asing, bahkan bertolak belakang dengan paham keumuman. Tulisan ini mencoba
menuntun Anda dalam memaknai Hakikat Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah: Mereka yang menempuh seperti apa yang
pernah ditempuh oleh Rasulullah ‘Alaihi Asholatu wa Sallam dan para Shahabatnya
Radhiyallahu Ajma’in. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang
dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Shahabatnya Radhiyallahu Ajma’in.
As-Sunnah menurut bahasa adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik
atau buruk. Sedangkan menurut ulama ‘aqidah, as-Sunnah adalah petunjuk yang
telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun
perbuatan. Dan ini adalah as-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya
akan dipuji dan orang-orang yang menyalahinya akan dicela. [Buhuuts fii ‘Aqidah
Ahlis Sunnah, hal. 16]
Pengertian as-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah
(wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya
berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan),
perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu
generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang
mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry
(wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin
‘Iyadh (wafat th. 187 H).” [Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam (hal. 495) oleh Ibnu
Rajab]
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak
mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para
Imam (yang berpegang kepada) al-haq/kebenaran, tidak mau keluar dari jama’ah
mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. [Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqiidah]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah adalah generasi pertama dari umat ini,
yaitu kalangan Shahabat, Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti dalam
kebaikan hingga hari kiamat, karena berkumpul di atas kebenaran.
Kata Imam Abu Syammah as-Syafi’i Rahimahullah (wafat th. 665 H):
“Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya ialah berpegang kepada
kebenaran dan mengikutinya. Meskipun
yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena
kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang
dilaksanakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya
tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah
mereka.”
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang
mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful
Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba’.
Berkata Syeikh Thahawi dalam matan ‘Aqidah:
”Dan bukanlah dari ‘aqidah kami -ahli sunnah-
menentang pemerintah walaupun mereka itu berlaku zalim dan tidak pula kami
mendoakan kejahatan atas mereka, adapun ‘aqidah kami adalah mentaati mereka itu
bermakna mentaati Allah Azza wa Jalla yaitu satu kefardhuan atas kami selama
mana mereka tidak menyuruh melakukan maksiat dan kami mendoakan mereka dengan
kebaikan dan keampunan.”
Berdasarkan ayat terdahulu Allah S.W.T meletakkan
syarat pemerintah yang wajib ditaati itu adalah muslim berdasarkan "منكم"(dari
Kamu).
Ketaatan kepada pemimpin adalah muqayyad atau
tertakluk kepada apa yang bersesuaian dengan syariat Allah adapun yang
menyelisihi syara’ maka tiada taat bahkan haram dan wajib ketika itu menasihati
pemerintah dan menyuruh kepada makruf.
Dalam hadis Sahih daripada Syaikhan:
”Dari Ibn Umar R.A., Nabi SAW bersabda: Wajib atas
muslim itu mematuhi pemerintah dalam perkara yang ia suka mahupun tidak
melainkan apabila diperintah melakukan maksiat maka ketika itu tidak wajib lagi
taat.” [Hadis Sahih: Riwayat Bukhari dan Muslim]
Perkataan أولي الأمر menurut ulama’ tafsir merangkumi semua
jenis pengausa ‘am dan khas seperti raja,menteri,khalifah,ulama’ dan penguasa
agama seperti mufti dan ibu bapa serta suami.
Kewajiban ini mentaati pemerintah ini datang
setelah pemerintah itu melaksanakn keadilan dan menunaikan amanah yang
dipertanggungjawabkan atasnya. Ini berdasarkan ayat sebelum ayat ini yaitu
surah an-Nisaa’ ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ((Q.S An Nisaa:
58)
|
Ayat ini Allah S.W.T menujukan khitabnya pada
pemerintah untuk melakukan keadilan dan kesaksamaan dan menunaikan amanah
dengan baik kemudian Allah SWT berpesan pula kepada rakyat untuk mentaati
pemerintah dalam ma’ruf.
Indonesia Bukan Negara Islam, Layakkah Ditaati?
Para ulama kaum muslimin seluruhnya sepakat akan
kewajiban taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang bukan maksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memerintahkan
hal tersebut sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S An-Nisaa: 59)
Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
telah berwasiat:
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada
Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin
tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah
menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
“Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak
kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka berbuat zhalim. Kami
tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak melepaskan diri dari
ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan kepada mereka adalah
ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban, selama yang mereka perintahkan
itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan kami doakan mereka dengan kebaikan
dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi
Al-Hanafi rahimahullah)
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil
ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah, ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat
wajibnya taat kepada pemerintah (muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya,
dan bahwa ketaatan kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari,
13/7)
Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum
dengan Syari’at Islam?
Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim. Sebagaimana juga
dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara menyeluruh di negeri
tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut pemerintah (dan rakyatnya) telah
menjadi murtad? Kemudian boleh bagi kaum muslimin memberontak atau membangkang
kepada pemerintah Indonesia?
Syubhat ini dijawab oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwa berikut ini:
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin
rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: “Pemerintah yang tidak berhukum dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang bukan
maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka
dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah
menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada
ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:
- Dia mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
- Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.
Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan
berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari
Islam, berdasarkan firman Allah:
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S Al-Maidah:
44)
Pemerintah yang demikian telah batal kekuasaannya,
tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan dilengserkan
dari kekuasaan.
Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum
Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah
itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya
karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir,
melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan
kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau
dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya.
Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap
pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai
alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa
Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah juga
menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum
Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama:
Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan
hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan
lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)
Apabila pemerintah itu berlaku zalim
Dalam menghadapi masalah ini Rasulullah SAW. telah memberikan petunjuk yang
amat baik sekali dalam hadis-hadis baginda yang sahih:
”Dari Ibn Abbas R.A.: Bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
Barang siapa yang benci pada pemerintahnya sesuatu (daripada maksiat) maka
hendaklah dia bersabar kerana sesiapa yang menentang pemerintah maka dia mati
sebagai mana orang Jahiliyyah. [Hadis Sahih: Muttafaq ‘Alaih – Riyadhus
Solihin]
“Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata: Kami
menemui Ubadah bin Samit ketika dia sakit dan kami berkata padanya:
Ceritakanlah pada kami-semog Allah menyembuhkan kamu- akan suatu hadis yang
bermanfaat yang engkau dengar dari Rasulullah SAW. maka dia berkata: Rasulullah
menyeru kami lalu kami membaiat baginda dan antara isi baiat itu; hendaklah
kami dengar dan taat ketika suka dan benci, susah dan senang dan yang memeberi
kesan pada kami dan janganlah kami mencabut urusan (pemerintahan) daripada
ahlinya melainkan engkau melihat padanya(pemerintah) kufur yang nyata yang kamu
boleh buktikannya di hadapan Allah.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
”Dari Ummu Salamah bahawa Rasulullah SAW. berkata:
Akan ada pemimpin-pemimpin yang kamu kenal dan kamu ingkarinya(kerana
maksiatnya) maka sesiapa yang menegnali maksiat itu maka dia terlepas (tidak
terjebak dalamnya) dan sesiapa yang ingkar maka dia selamat tetapi (yang
berdosa adalah) mereka yang redha dan ikut. Mereka(Sahabat) berkata: Apakah
tidak boleh kami memerangi mereka? Kata baginda: tidak boleh selagi mereka
solat.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
”Dari ‘Auf bin Malik daripada Rasulullah SAW.
baginda bersabda: Sebaik-baik pemimpin kamu adalah yang kamu menyukai mereka
dan mereka menyukai kamu, mereka mendoakan kamu dan begitu juga kamu mendoakan
mereka,adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah yang kamu benci akan mereka
begitu juga mereka benci pada kamu, kamu melaknat mereka dan mereka juga
melaknat kamu.Ditanya RasulullahS.A.W: Wahai Rasulullah apakah tidak boleh kami
melawan mereka sahaja dengan pedang? Maka jawab Nabi SAW.: Tidak boleh selagi
mereka mendirikan solat dan apabila kamu melihat pemimpin kamu akan sesuatu
yang kamu benci maka bencilah amalannya tapi jangan dia keluar dari taat.
[Hadis Sahih: Riwayat Muslim]
Dari hadis-hadis di atas wajib kepada kita
mentaati pemerintah walaupun mereka berlaku zalim selagi mana tidak melakukan
kekufuran yang nyata. Adapun yang perlu dilakukan oleh muslim adalah menasihati
pemerintah itu dan mengingkari maksiatnya ini sebagaimana dalam hadis yang
lain:
”Dari Abu Ruqaiyyah Tamim bin Aus Ad-Dari R.A.
bahawa Nabi SAW. telah bersabda: Agama (Islam) itu nasihat. Kami(Sahabat)
berkata: Bagi Siapa? Baginda menjawab: Bagi Allah dan Kitab-Nya dan Rasul-Nya
dan Pemimpin-peminpin umat Islam dan ‘Awamnya.” [Hadis Sahih: Riwayat Muslim
dan Nasai]
Hikmah terus mentaati
pemerintah dan tidak menggulingkan kerajaan
Hikmah petunjuk Nabi SAW. ini amatlah besar bagi
maslahat umat di akhir Zaman.Hadis-hadis ini menunjukkan mukjizat Baginda SAW.
kerana memberitakan perkara yang belum berlaku.
Dari segi politik ia mempunyai nilai siasah yang
amat tinggi dan penuh licik. Apabila Umat terus mentaati pemerintah maka dengan
sendirinya pemerintah tadi akan menjadi lembut hatinya apabila dilembutkan
Allah S.W.T dan mahu ia mendengar cakap rakyatnya dan diterima nasihat mereka
padanya.
Ini kerana pemerintah apabila rakyatnya itu
mengisytiharkan keluar dari taatnya maka keraslah hatinya pada mereka dan
engganlah ia mendengar lagi nasihat mereka. Jadi kewajiban menasihati
pemerintah hanya akan berlaku apabila rakyat itu masih taat dan mengiktiraf
kepimpinan pemerintah itu.
Adapun sebab berlakunya kezaliman pemerintah itu
kerana rakyat menzalimi diri sendiri dan melakukan maksiat. Dalam sejarah kita
lihat apabila rakyat mula terpengaruh dengan faham muktazilah maka Allah
meletakkan Abdullah Al-Makmun sebagai Khalifah dan menjadi keraslah kerajaan
atas Ahli Sunnah dan tersiksalah ulama’ Sunnah sehingga mereka kembali
berpegang dengan sunnah maka Allah meletakkan Al-Mutawakkil ‘Alallah maka
bersinarlah kembali cahaya Sunnah.
Nabi SAW. menasihati pemerintah dan mendoakan
mereka hidayah dan keampunan dan rakyat pula hendaklah sentiasa mengislahkan
diri dan memohon ampun supaya dengan berubahnya rakyat itu kepada baik maka Allah
akan meletakkan juga pemerintah yang baik kepada mereka.
Antara hikmahnya juga terletak apabila Rasulullah
SAW menyuruh kita jangan ikut perintah yang maksiat tetapi dalam masa yang sama
terus menasihati dan mengiktiraf pemimpin itu maka dengan sendirinya apabila
dia melihat rakyatnya tidak ikut perintahnya yang maksiat maka tidaklah lagi
dia akan memerintah dengan maksiat bahkan akan menyuruh yang makruf jua.
Kita misalkan di Malaysia jika semua bangsa Melayu
Islam ini dalam partai kerajaan lalu semuanya sebulat suara mengusulkan supaya
kerajaan menegakkan hukum Allah maka sudah tentu ketika itu tiadalah bagi
kerajaan itu dihadapannya melainkan menegakkan hudud dan qisas dan lainnya
daripada undang-undang Islam.Wallahua’lam.
Syarat Boleh Memerangi Pemerintah
Apabila berlaku kekufuran yang nyata dan tiada pula Majlis Syura
yang dapat mencegah kemungkaran itu seperti semuanya juga menyokong kekufuran
itu maka wajiblah diperangi. Misalnya dia menghalalkan arak dan menyuruh orang
meminumnya, menukar azan ke bahasa lain,menghalang solat Jamaah, Melarang
puasa,melarang pemakaian tudung dan menutup aurat dan lain-lain perkara yang
menyebabkan kufur Akbar yang menyebabkan pelakunya murtad wal’iyazubillah.
PENUTUP
Kesimpulan
Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan
maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun
mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak
berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth
at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat
itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum
asalnya ia adalah muslim. Jika
ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin
tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah
pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang
zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada
Allah.
Mereka yang mempersoalkan dasar negara dalam hal
ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan –baik dengan senjata
maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah muslim, hanyalah orang-orang jahil
dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul
dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
DAFTAR PUSTAKA
H. Salim Bahreisy (Penterjemah). 1987. Tarjamah Riadhus Shalihin Abu Zakaria Yahya
Volume 1. Bandung:
PT. Alma’arif
___________________________. 1987. Tarjamah Riadhus Shalihin Abu Zakaria Yahya Volume II. Bandung: PT. Alma’arif
Saiful Mujani. 2007. Muslim demokrat: Islam, budaya demokrasi, dan partisipasi
politik di Indonesia
pasca Orde Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Your Affiliate Money Making Machine is waiting -
ReplyDeleteAnd getting it running is as easy as 1...2...3!
Here is how it all works...
STEP 1. Tell the system which affiliate products the system will promote
STEP 2. Add some PUSH button traffic (it LITERALLY takes JUST 2 minutes)
STEP 3. Watch the system explode your list and sell your affiliate products all for you!
Are you ready?
Your MONEY MAKING affiliate solution is RIGHT HERE